Bisnis Kuliner Ala Pejabat Kabupaten - KUPAS TUNTAS

Kamis, 24 April 2025

Bisnis Kuliner Ala Pejabat Kabupaten

 

PURWAKARTA , Kupas Tuntas - Di berbagai kabupaten, kita sering menyaksikan fenomena klasik dengan kemasan baru: pedagang kaki lima digusur atas nama ketertiban atau penataan wilayah. Namun di balik narasi “penataan”, tersembunyi praktik yang jauh dari semangat keadilan.

Sudah menjadi cerita lama: para pedagang digusur, dipaksa pindah ke lokasi baru, yang ternyata dikelola oleh pejabat daerah atau orang-orang terdekatnya. Ironisnya, mereka yang memimpin proses penertiban justru menangguk untung dari relokasi paksa tersebut. Lapak-lapak baru berdiri rapi di atas tanah kontrakan yang dikelola secara pribadi—bukan oleh pemerintah. Uang sewa masuk ke kantong saku pribadi, bukan ke kas daerah.

Seorang pedagang mengungkapkan kekagetannya saat diberi tahu Satpol PP bahwa ia tak boleh lagi berdagang di lokasi lamanya. Ia dipindahkan ke tempat baru—yang ternyata berada di atas tanah sewaan milik seorang pejabat kabupaten. Katanya nanti dia bisa berdagang disitu, tapi membayar uang sewanya ke pejabat dengan tarif yang tidak murah.

Praktik ini bukan sekadar tidak etis. Ini adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power. Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, khususnya Pasal 17 yang melarang pejabat menyalahgunakan wewenang untuk keuntungan pribadi. Selain itu, tindakan ini berpotensi melanggar UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, serta PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS yang melarang penggunaan jabatan dan fasilitas negara untuk kepentingan bisnis pribadi.

Inilah bisnis kuliner ala pejabat kabupaten: mengusir demi meraup. Pedagang kecil dihadapkan pada pilihan pahit—kehilangan penghidupan atau membayar sewa ke pemilik kekuasaan. Skema ini mengaburkan batas antara tanggung jawab jabatan dan kepentingan pribadi. Mereka yang seharusnya melayani, justru menjadikan rakyat sebagai ladang cuan.

Penataan wilayah seharusnya berpihak pada rakyat kecil, bukan menjadikan mereka komoditas baru bagi segelintir elite. Tapi ketika jabatan menjadi alat dagang, yang tersisa hanyalah ketimpangan yang dibungkus kata-kata manis: penertiban, estetika, kemajuan.

Penulis: Agus Sanusi, M.Psi

Aktivis pada Lembaga Kajian Publik Analitika Purwakarta.

(Red)


Comments


EmoticonEmoticon

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done